RSS

Perkara-perkara Aqidah Yang Dimaksud Oleh Taqiyyuddin An-Nabhani


“perkara-perkara aqidah” (aqooid) dalam pernyataan Taqiyuddiin. Tentu saja untuk itu kita harus merujuk pada apa yang dimaksud oleh si pembuat pernyataan. Dengan begitu, tidak terjadi respon yang salah dikarenakan perbedaan persepsi mengenai apa yang dimaksud dengan “perkara aqidah” dalam pernyataan itu.



Perlu kita tegaskan bahwa istilah aqidah yang kita bicarakan di sini merupakan istilah yang dibuat dan digunakan oleh para ulama ushulud diin. Istilah ini tidak memiliki makna syar’i, tidak seperti kata sholaah, zakaah, jihaad, haj, wudluu’, tayammum, islam, dll. Kata-kata yang disebut terakhir telah digunakan oleh Allah dan rasulNya di dalam Al Qur’an dan hadits dengan pengertian baru (syar’i) yang kita harus terikat dengan pengertian tersebut.



Pembentukan makna aqidah dalam disiplin ushulud diin sama seperti pembentukan pengertian al hadits dalam disiplin ilmu hadits. Al hadits tidak memiliki makna syar’i. Secara bahasa artinya antara lain adalah “pembicaraan” atau “sesuatu yang baru”. Tapi para muhaditsuun rahimahumullaahu membuat kata al hadits memiliki pengertian khusus di dalam disiplin ilmu yang mereka mereka geluti, yaitu sebagai segala macam khobar yang memberitakan tentang kisah kehidupan, perbuatan, perkataan, taqriir, dan sifat-sifat penciptaan (fisik) nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari mana pengertian al hadits seperti ini muncul? Tentu saja ini hanya istilah yang dibuat oleh para muhaditsuun rahimahumullaahu.

Jika kita berpindah ke disiplin ilmu ushul fiqh, maka akan dapati para ahli ushul fiqh menggunakan istilah al hadits dengan pengertian yang berbeda. Al Hadits dalam ushul fiqh merupakan salah satu sumber hukum syara’. Dalam disiplin yang mereka geluti, al hadits adalah segala informasi mengenai perbuatan, perkataan dan taqriir nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallama, sementara sifat fisik nabi ‘alaihish-sholaatu was-salaam tidak termasuk dalam pengertian hadits -dalam disiplin ushul fiqh, sebab sifat fisik nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam bukan merupakan sumber hukum syara’.



Perbedaan penggunaan istilah dalam disiplin ilmu yang berbeda sebenarnya bukanlah sebuah perbedaan. Ini seperti kata “shooting” yang sering kita dengar. Jika kata shooting digunakan oleh tentara dalam peperangan, maka artinya adalah menembak; jika digunakan oleh pemain bola di lapangan, maka artinya adalah menendang ke arah gawang; jika digunakan oleh fotografer atau kamerawan, maka artinya adalah mengambil gambar. Dengan demikian, jika kita hendak memahami sebuah istilah yang digunakan oleh seseorang dalam pernyataannya, maka kita harus mengacu pada pengertian atau fakta yang dimaksud oleh si pembuat pernyataan. Artinya, kita tidak bisa mengartikan sebuah istilah yang digunakan oleh orang lain dengan imajenasi kita sendiri.



Kalau kita cermati tulisan Taqiyuddiin dalam Asy-syakhshiyah I dengan seksama, dapat disimpulkan bahwa permasalahan aqidah yang beliau maksud dalam pernyataan di atas adalah hal-hal yang wajib diimani oleh seorang muslim -yang mana apabila seseorang tidak mengimani salah satu dari permasalahan aqidah tersebut maka dirinya tidak dapat disebut sebagai seorang muslim. Keimanan pada hal-hal yang tergolong “wajib untuk diimani” yang memberi batas tegas antara iman dan kufur itulah yang disebut oleh Taqiyyuddiin sebagai aqidah. Untuk menjelaskannya, kita akan mendifinisikan kata iman terlebih dahulu.



Apa pengertian iman yang dimaksud oleh penulis di sini? Iman yang dimaksud oleh penulis -yakni An Nabhaaniy- adalah “pembenaran/ pengakuan (terhadap suatu hal) yang bersifat pasti, sesuai dengan fakta dan didasarkan atas bukti” (tashdiiqul jazm almuthobaqu lil waqii’i ‘an daliilin). Definisi iman ini dirumuskan berdasarkan fakta iman itu sendiri. Ini adalah definisi iman menurut ushuliyuun, bukan ahli bahasa mau pun muhaditsuun. Istilah ini mungkin memiliki pengertian yang berbeda jika diucapkan oleh kalangan muhaditsuun atau lughuun -ahli bahasa. Para ahli hadits misalnya, mereka mengatakan bahwa imaan itu bukan sekedar pembenaran pasti di dalam hati, tapi juga mencakup pengikraran secara lisan, dan pengamalan dalam perbuatan. Mereka mengatakan bahwa iman itu bercabang-cabang, ada yang apa bila diingkari menyebabkan kekafiran, tapi ada cabang iman yang bila diingkari tidak menyebabkan kafir, hanya menyebabkan dosa. Mereka juga mengatakan bahwa iman itu ada yang kuat dan ada yang lemah.



Iman yang lemah bisa menguat dan iman yang kuat bisa melemah. Iman bisa diperkuat dengan ketaatan dan bisa diperlemah dengan kemaksiatan. Manusia bertingkat-tingkat dalam beriman, dan para nabi ‘alaihimus-salaam adalah manusia yang memiliki tingkatan iman tertinggi. Sementara Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu merupakan manusia yang paling tinggi imannya setelah para nabi ‘alaihimus-salaam. Begitulah pendapat sebagian besar ahli hadits. Hal itu dirumuskan berdasarkan kata iman yang digunakan oleh nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak sabda beliau. Sebagian dari mereka mengatakan, barang siapa yang menolak hal-hal di atas, maka mereka bukan ahlu sunah, mereka adalah Khowarij -kelompok ekstrim yang menyatakan bahwa orang yang bermaksiyat adalah orang yang tidak beriman- atau Murji’ah -kelompok ekstrim yang mengatakan bahwa kemaksiyatan tidak berhubungan dengan keimanan dan tidak mengurangi iman, sebagaimana mengamalkan ketaatan tidak akan menambah iman bagi orang kafir, sebab iman sekedar keyakinan.



Kenapa ahli ushul dan ahli hadits berbeda dalam mengidentifikasi masalah keimanan? Menurut kami penyebabnya bukan perbedaan madzhab, melainkan perbedaan konsentrasi disiplin ilmu yang mereka geluti. Muhaditsuun lebih berkonsentrasi untuk menjaga lafadz-lafadz yang digunakan oleh rasuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits. Sedangkan para ushuliyuun lebih berkonsentrasi pada aspek praktis dari istilah iman itu sendiri. Para ahli ushul menggunakan istilah “iman” untuk mengidentifikasi “faktor pembatas antara keislaman dan kekufuran” yang tidak lain adalah aspek pembenaran atau keyakinan terhadap masalah-masalah ushuluddiin. Sedangkan masalah ikrar dan amal tidak mereka masukkan dalam pengertian iman, tapi mereka anggap sebagai konsekuensi, tanda, dan dampak dari keimanan. Masalah kualitas kuat-lemahnya iman mereka anggap sebagai kuat-lemahnya pengaruh iman tatkala seseorang menjalankan berbagai aktivitas dalam kehidupannya (idrak shilatu billaah).



Kemaksiatan mengurangi iman artinya mengurangi hubungan hamba dengan Allah, dan ketaatan menambah iman artinya menambah hubungan hamba dengan Allah. Bagi kami, pendapat sebagian besar ushuliyuun adalah yang lebih tepat. Beriman dengan keberadaan jin, iblis, dan malaikat adalah pengetahuan dan pembenaran secara pasti saja. Orang beriman harus mengatakan “kami percaya sepenuhnya dengan keberadaan jin”, perkataan ini adalah konsekuensi dari iman, bukan iman itu sendiri.



Tapi yang jelas, para ulama yang berpendapat bahwa iman adalah tashdiq, ikrar, dan amal tidak mengkafirkan orang yang mengamalkan kemaksiyatan, sekali pun maksiyat yang termasuk dosa besar, seperti zina dan riba misalnya. Artinya, mereka tidak menjadikan amal sebagai masalah keimanan dalam pengertian yang digunakan ulama ushuluddiin. Sedangkan amal yang berupa kewajiban-kewajiban dan nawaafil (nafilah-nafilah) tidak pula dianggap remeh oleh ushuliyuun, hal ini sesuai dengan harapan ahli hadits. Jadi jelas, perbedaan di antara mereka sebenarnya bukan perbedaan yang hakiki, ini hanya perbedaan dalam pengistilahan, sedang dalam prakteknya mereka tidak berbeda. Kita tidak berharap karena hanya berbeda dalam mengaplikasikan sebuah kata, kaum muslim harus saling membi’ahkan satu dengan yang lain.



Karena kita sakarang sedang bicara masalah aqidah, maka kita akan menggunakan istilah iman dalam pengertian yang digunakan oleh ulama ushulud diin. Allah berfirman dalam Ash-Shof : “Tu’minuuna billaahi wa rasuulihi”- kalian beriman kepada Allah dan (kepada) rasulNya-. Jika kita aplikasikan definisi imaan menurut ushuliyuun, maka beriman kepada Allah di sini adalah “membenarkan secara pasti tentang kenyataan bahwa Allah adalah satu-satunya Ilaah -berdasarkan bukti yang pasti”; dan beriman kepada rasulNya adalah “membenarkan secara pasti bahwa Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan seorang rasul Allah berdasarkan dalil yang pasti”.



Yang perlu dijelaskan adalah:



Yang dimaksud dengan “pembenaran secara pasti” adalah pembenaran yang tidak mengandung keraguan sedikit pun. Dengan kata lain, sebuah keyakinan yang tidak mengandung kemungkinan/ peluang salah walau hanya 1%. Maka batasan ini mengecualikan pembenaran yang tidak bersifat jazm/pasti dari lingkup pengertian iman, seperti pembenaran-kuat (gholabatudz- dzon). Jadi sekedar pembenaran-kuat yang tidak jazm tidak bisa disebut iman.

Yang dimaksud “sesuai dengan fakta” adalah pembenaran tersebut memang sesuai dengan realitas, bukan keyakinan yang membabi-buta. Sebuah keyakinan dikatakan benar tatkala keyakinan itu memang sesuai dengan realitas.

Maksud dari “berdasarkan bukti” adalah bukti yang menunjukkan bahwa keyakinan itu memang sesuai dengan realitas. Pembenaran merupakan dampak dari pengetahuan. Jika kita mengetahui bahwa realitas bumi itu bulat, maka kita akan membenarkan bahwa bumi itu bulat. Dan pengetahuan manusia terhadap realitas itu didapat melalui bukti. Jika kita tidak mendapatkan bukti apa pun yang menunjukkan bahwa bumi itu bulat, maka kita tidak akan pernah tahu bahwa bumi itu bulat -seperti manusia pada masa lalu. Tapi adanya perjalanan mengitari bumi membuat orang tahu secara pasti bahwa bumi itu bulat.



Bukti (dalil) bisa berupa aqli mau pun naqli -tergantung objek yang dibahas. Jika objek yang diahas adalah realitas yang empirik, indrawi, atau yang berhubungan pasti dengan hal-hal empirik, maka dalilnya ‘aqli. Seperti keberadaan manusia, alam semesta, dan kehidupan sebagai makhluq ciptaan Al Kholiq; kenyataan bahwa Muhammad ‘alaihisholaatu was salaam adalah rasulullaah, dan kenyataan bahwa Al Qur’an adalah Kalamullaah. Sedangkan hal-hal non empirik, seperti Nama dan Sifat-sifat Allah, makhluq-makhluq ghoib, peristiwa hari kiamat dll, maka tidak bisa terjangkau realitasnya oleh akal. Tapi, keimanan terhadap hal-hal tersebut bisa dicapai dengan adanya dalil naqli yang qoth’i tsubut (sumber penukilannya qoth’i) sekaligus qoth’i dilalah (aspek maknanya qoth’i), yakni seperti Al Qur’an dan hadits mutawatir yang penunjukkan maknanya muhkam.



Tingkat kekuatan pembenaran manusia terhadap sesuatu berbeda-beda tergantung kekuatan bukti yang dia dapatkan. Jika bukti yang dia dapat lemah, maka pembenarannya akan lemah (ihtimal). Kadang bukti yang dia dapat hanya menghasilkan peluang pembenaran yang sama kuat dengan peluang pengingkarannya, sehingga dia tidak bisa menentukan kecenderungan untuk membenarkan atau pun mengingkari (ragu-ragu/syak) . Kadang dia mendapatkan bukti yang sangat kuat sehingga menghasilkan pembenaran yang kuat pula (gholabatudz- dzon). Dan kadang bukti datang tanpa membawa kemungkinan salah sedikit pun (Qoth’i), ini yang disebut sebagai bukti yang menghasilkan pembenaran yang pasti (tashdiiqul jazm).



Karena aqidah merupakan permasalahan dasar-dasar agama (ushuluddiin), maka ia haruslah merupakan suatu pembenaran yang bersifat pasti dan tidak mentolelir kemungkinan salah, meski kemungkinan salah itu hanya sebutir debu. Tentu saja demikian, karena atas dasar aqidah itulah kita membangun seluruh pendirian kita, memisahkan antara yang haq dengan yang bathil, membedakan antara keimanan dengan kekufuran, menentukan mana yang kita bela dan mana yang kita lawan (al wala’ wa al bara’). bagaimana mungkin kita akan mendasarkan permasalahan fundamental (ushul) seperti itu kepada asas yang masih mengandung peluang kesalahan -meski hanya kecil. Juga kita semua tahu bahwa aqidah adalah yang wajib diyakini secara penuh. Lantas bagaimana mungkin kita bisa meyakini sesuatu secara penuh jika sesuatu itu tidak diketahui kebenarannya secara pasti?



Dengan demikian, masalah aqidah mau/tidak mau harus merupakan suatu hal yang pasti kebenarannya. Dan untuk memastikan bahwa sesuatu itu memiliki kebenaran yang pasti, kita membutuhkan dalil/bukti yang pasti kebenarannya pula (qoth’i). Mengapa demikian? Sebab pembenaran yang pasti (tashdiiqul jazm) tidak mungkin dihasilkan dari bukti yang tidak pasti. Ini suatu hal yang rasional bahwa bukti yang pasti menghasilkan kepastian, bukti yang bersifat dugaan menghasilkan dugaan, bukti yang lemah menghasilkan ihtimal (sangkaan yang lemah).



Jika sesuatu dalam agama islam telah terbukti benar secara pasti melalui dalil-dalil yang pasti, seperti ke-Esa-an Allah, kerasulan Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Alqur’an adalah Kalamullaah, kedatangan hari akhir dsb, maka diwajibkan atas manusia untuk membenarkannya secara pasti pula. Siapa saja yang masih memiliki keraguan dalam masalah-masalah yang qoth’i, atau mengingkari permasalahan tersebut, dia tidak bisa dikelompokkan sebagai orang yang beriman (baca: kafir). Sebab, menyatakan keraguan dalam perkara yang pasti dalam agama sudah cukup untuk membuat seseorang menjadi kafir. Apalagi mendustakan perkara yang tergolong qoth’i tersebut, jelas kafir. Ini bukan berarti islam menjadikan masalah-masalah itu sebagai doktrin yang dipaksakan kepada pemeluknya. Tidak dikatakan demikian karena apa yang wajib diyakini dalam islam itu memang merupakan realitas yang dapat dibenarkan secara pasti melalui dalil-dalil yang pasti pula. Dalil-dalil itu telah memberi pengetahuan kepada manusia sehingga siapa saja yang ragu atau mendustakannya bisa dikatakan bebal dan mengkhianati akal sehatnya sendiri. Seperti halnya orang yang meragukan atau mengingkari bahwa matahari itu panas, padahal jelas telah datang bukti yang membawa pengetahuan yang pasti bahwa matahari itu memang panas. Tidak ada orang sehat yang seperti itu kecuali orang yang mengkhianati akalnya sendiri seperti Walid bin Mughirah. -Tentu saja ini berlaku untuk orang yang normal.



Nah, masalah-masalah yang datang dari dalil yang qoth’i, tidak mungkin salah, yang wajib diimani (baca: dibenarkan secara pasti), yang kalau meragukan atau mendustakannya akan divonis kafir- inilah yang dimaksud dengan masalah-masalah aqidah (aqooid). Atas dasar itu, pendirian penulis tentang aqidah bisa dikemas dengan redaksi: permasalahan yang wajib dibenarkan secara pasti oleh seorang muslim berdasarkan dalil yang pasti, dan jika seseorang tidak membenarkannya secara pasti maka dia kafir.



Mafhum mukholafah dari definisi aqidah di atas adalah “segala sesuatu yang tidak dituntut untuk dibenarkan secara pasti -karena tidak dudukung oleh dalil yang pasti- dan tidak menyebabkan kekafiran jika diingkari maka tidak dinamakan sebagai perkara aqidah”. Artinya, segala sesuatu yang tidak didukung oleh dalil yang qoth’i maka: tidak wajib bagi manusia untuk membenarkannya- secara-pasti; dan siapa saja yang tidak-membenarkanny a-secara- pasti maka dia tidak bisa divonis kafir. Penjelasannya: bagaimana mungkin kita dituntut untuk membenarkan sesuatu dengan pembenaran-yang- pasti sedang sesuatu itu sendiri tidak didukung oleh dalil yang pasti? Dan bagaimana mungkin seseorang divonis kafir hanya karena tidak memastikan sesuatu yang dzonniy (tidak pasti)? Atas dasar itu, aqidah yang wajib diimani (baca: dibenarkan secara pasti), -yang kalau mengingkarinya dianggap kafir- terbatas pada masalah-masalah yang didukung oleh dalil yang qoth’i.



Tapi yang perlu juga dicacat adalah, tidak wajib dibenarkan secara pasti bukan berarti wajib untuk diingkari. Penulis -yakni An Nabhaaniy- tidak bermaksud menyatakan bahwa hadits ahad yang mengandung informasi ghoib harus diingkari. Tidak dibenarkan secara pasti bukan berarti diingkari. Masalah ini akan kita bicarakan pada tempat tersendiri, InsyaaAllaahu ta’ala.



Kenapa Hadits Ahad Tidak Bisa Dijadikan Hujjah Dalam “Masalah-Yang- Wajib-Dibenarkan -Secara-Pasti” (baca : Aqidah)?



Jawabannya adalah: karena pembenaran yang pasti itu menuntut dalil yang pasti pula. Dalil yang pasti adalah dalil yang mendatangkan pengetahuan yang meyakinkan, tidak membawa peluang kesalahan walau sekecil apa pun. Jika kita telah sepakat dengan pendefinisian aqidah di dalam uraian sebelumnya, maka berarti anda setuju bahwa selain dalil yang qoth’i tidak bisa digunakan untuk berhujjah dalam aqidah. Karena aqidah adalah masalah yang wajib dibenarkan secara pasti. Masalahnya sekarang : “apakah hadits ahad itu dalil yang qoth’i atau tidak?”. Jika jawabnya qoth’i, artinya dapat dipastikan bahwa ia dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia digunakan sebagai hujjah dalam aqidah, tapi jika jawabnya tidak qoth’i, maka dia tidak dijadikan hujjah dalam aqidah.



Hadits ahad adalah khobar yang disandarkan kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh rantai perowi yang jumlah rantai itu belum mencapai derajat hadits mutawatir. Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perowi yang menurut adat kebiasaan para rowi itu tidak mungkin bersepakat bohong atau tidak mungkin sama-sama salah dalam periwayatannya.



Para ulama sepakat bahwa hadits yang diriwayatkan secara tawatur dapat menghasilkan ilmu dloruri, yakni dapat dipastikan tanpa ragu sedikit pun bahwa hadits itu memang dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan dalam masalah hadits ahad, maka ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka menyatakan bahwa hadits ahad yang shahiih dapat menghasilkan ilmu pasti. Di antara yang menyatakan demikian adalah Ibnu Hazm rahimahullaah. Sebagian lagi menyatakan bahwa hadits ahad tidak dapat menghasilkan ilmu pasti kecuali jika disertai qorinah pendukung. Ibnu Sholah rahimahullaah termasuk kelompok ini, beliau menyatakan bahwa hadits ahad itu dzonniy, tapi jika umat telah sepakat (berijma’) untuk menerima sebuah hadits ahad maka ia berubah menjadi qoth’i. Sebagian lagi menyatakan bahwa hadits ahad paling jauh hanya akan menghasilkan dzon, yaitu pembenaran kuat, dan tidak akan sampai pada derajat qoth’i (menghasilkan ‘ilmu). Pendapat ini disampaikan oleh Al Khotib Al Baghdaadi rahimahullaah dalam Al Kifayah fii ‘ilmir Riwaayah dan An Nawaawi rahimahullaah dalam muqodimah kitab syarah shohih muslim -kedua ulama ini otoritatif ketika bicara mengenai hadits.



Nampaknya, Taqiyuddiin An Nabhaani mengadopsi pendapat terakhir, yang menyatakan bahwa hadits ahad paling jauh hanya menghasilkan pembenaran kuat (gholabatudz dzon), tidak sampai pada pembenaran pasti. Sebab, jika hadist mutawatir dan hadits ahad sama-sama qoth’i lantas buat apa para ulama membuat definisi khusus untuk hadits mutawatir sebagai “hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah bilangan rawi yang banyak dimana secara kebiasaan mustahil bagi mereka untuk sepakat berbohong mengenai hadits yang mereka riwayatkan”.



Salah satu fungsi definisi adalah sebagai pembatas (mani’) terhadap sesuatu yang didefinisikan agar tampak perbedaannya dengan sesuatu yang lain. Hadits ahad dan hadits mutawatir sama-sama hadits. Tapi kalimat dalam ta’rif hadits mutawatir yang berbunyi “yang diriwayatkan oleh banyak rawi dimana secara kebiasaan mustahil bagi mereka untuk sepakat berbohong mengenai hadits yang mereka riwayatkan” merupakan sekat pembeda yang dibuat oleh para ulama untuk membedakan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad. Dari definisi itu kita bisa tahu bahwa hanya dalam hadits mutawatirlah para ulama memastikan bahwa perowi yang banyak itu mustahil salah maupun berbohong secara bersamaan, tidak dalam hadits ahad. Inilah yang membedakan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad. Dengan demikian jelas, bahwa hadits mutawatir itu qoth’i -pasti dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam- sedang hadits ahad itu tidak qoth’i -maksimal diduga kuat bahwa ia berasal dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Pembenaran kuat ini terwujud setelah hadits-hadits ahad melewati proses penelitian dan terhindar dari sebab-sebab yang melemahkan. Artinya, jika hadits itu shohih maka kemungkinan besar memang itu dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan kemungkinan salah adalah kecil.



Perlu ditambahkan bahwa hadits shohih tidak diterima kecuali jika diriwayatkan oleh orang-orang yang adil. Orang yang adil adalah orang islam yang tidak terkenal suka melakukan perbuatan dosa atau hal-hal yang sia-sia, tidak pernah tertuduh bohong, dan diketahui kehati-hatiannya dalam beramal (wara’). Hadits shohih juga harus diriwayatkan oleh orang-orang yang dlobit, yakni orang yang akurat dalam periwayatan, kuat dalam hafalan dan paham mengenai apa yang dia riwayatkan. Oleh karena itu ulama tidak menerima periwayatan orang yang bodoh, pelupa, pernah gila, sudah tua, orang cacat yang bisa mengganggu tingkat akurasi dalam penukilan -seperti buta dan tuli, atau orang yang periwayatannya kacau -suka berubah-ubah dalam redaksi. Jika dua kualitas itu -adil dan dlobit- terkumpul pada diri seorang rawi, maka orang itu secara umum disebut tsiqoh -terpercaya. Demikianlah, hadits shohih harus diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlobit dengan jalur yang bersambung dari satu generasi (thobaqot) ke generasi berikutnya sampai Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam.



Akan tetapi, dengan syarat tersebut para ulama terkadang masih menemukan hadits yang saling berlawanan sehingga mengharuskan mereka untuk melakukan proses tarjih -menguatkan dan memilih salah satu dari dua dalil yang bertentangan. Untuk bisa melakukan tarjih terhadap hadits yang secara dzohir bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, maka para ulama membuat tingkatan-tingkatan kualitas perowi dan juga kualitas jalurnya. Jika ada dua hadits yang bertentangan, maka mereka akan memilih hadits yang diriwayatkan oleh jalur yang terdiri dari orang-orang yang lebih kuat, baik dari segi keadilan maupun dari segi kedlobitan. Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullaahu mengklasifikasikan kualitas ketsiqohan para rowi dalam dua belas kelas.



Hanya saja, para ulama sering berbeda pendapat mengenai kualitas seorang rawi. Kadang ulama berpendapat bahwa si A lebih kuat dari B, sedang yang lain menyatakan sebaliknya. Karena itu mereka juga tidak senada mengenai jalur periwayatan mana yang paling kuat. Dalam hal ini ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda. Hal itu mempengaruhi proses pentarjihan yang mereka lakukan. Sebagian ulama menguatkan hadits yang diriwayatkan melalui jalur A dari pada hadits yang diriwayatkan melalui jalur B. Tapi sebagian lain justru memiliki pendapat yang sebaliknya. Bahkan ada hadits yang disebut mudlthorib, yaitu dua hadits yang didapat dari dua jalur yang sama-sama kuat tapi bertentangan satu sama lain dengan pertentangan yang tidak bisa dikompromikan atau pun ditarjih. Yang disebut sama-sama kuat adalah kondisi dimana para ulama sudah kehabisan akal untuk mengkompromikan atau untuk memilih salah satunya, karena memang pertentangannya total dan kualitasnya benar-benar sama.



Yang sebenarnya ingin saya tunjukkan adalah, bahwa ternyata metode yang digunakan untuk menerima hadits dengan menetapkan syarat adil dan dlobit saja belum bisa menjamin kepastian bahwa hadits itu benar-benar dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa keraguan sebutir debu pun. Buktinya, sebuah hadits yang diriwayatkan secara bersambung sampai nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam (muttashil-marfu’) oleh para rawi yang seluruhnya adil dan dlobit masih bisa bertentangan dengan hadits lain yang juga diriwayatkan secara muttashil oleh orang-orang yang juga tsiqoh. Jika periwayatan dari orang-orang yang adil dan dlobit itu sudah 100 % menjamin kebenaran sebuah hadits, seharusnya tidak mungkin terjadi pertentangan antara dua hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqoh. Sebab, dua hal yang bertentangan tidak mungkin sama-sama benar. Salah satu dari keduanya dapat dipastikan salah atau palsu. Contohnya adalah hadits-hadits yang bertentangan mengenai cara menempatkan tangan saat turun untuk sujud dan bangkit dari sujud. Kita berani memastikan salah satu pihak dari hadits-hadits yang bertentangan itu pasti salah, meskipun keduanya diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlobit. Hanya saja kita tidak bisa mematikan mana yang salah.



Artinya masih ada celah dalam metode. Syarat adil dan dlobit masih bisa kebobolan sehingga meloloskan hadits yang salah. Ibarat filter, jaringnya masih kurang rapat, meskipun sudah begitu ketat. Dengan demikian jelas, hadits yang diterima oleh para ulama secara ahad dari orang-orang yang tsiqoh dan musnad (muttashil-marfu’ ) belum menjamin bahwa hadits itu qoth’i 100% dari rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Kita hanya bisa mengatakan, jika sebuah hadits diriwayatkan secara ahad, oleh para rawi yang adil dan dlobit secara bersambung, dan tidak ada pertentangan dengan riwayat lain, maka hadits itu kita duga kuat benar-benar dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kita jadikan hujjah dalam berarmal. Tapi tetap saja dia dzon, seperti yang ditegaskan An Nawawi rahimahullah dalam muqodimah syarh muslim. (lihat, Syarah Shohih Muslim, Jilid I, Penerbit Mustaqim)



Karena hadits ahad itu tidak qoth’i dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits ahad tidak bisa menghasilkan pembenaran yang pasti. Padahal, aqidah yang dibicarakan oleh Taqiyuddiin adalah hal-hal yang wajib (harus) dibenarkan secara pasti dan siapa yang tidak membenarkannya secara pasti maka dia kafir. Sekali lagi kita bertanya: bagaimana mungkin kita bisa mewajibkan manusia untuk membenarkan secara pasti terhadap apa yang datang dari hadits ahad -sedang hadits ahad sendiri bersifat dzonniy? Dan bagaimana mungkin kita bisa mengkafirkan seseorang karena dia tidak memberi pembenaran secara pasti terhadap sesuatu yang datang dari dalil dzonniy -yang hanya mengahsilkan dugaan kuat? Wallaahu a’lamu bish showaab



Kesalahpahaman Yang Perlu Ditepis



1.Tidak Dijadikan Hujjah Dalam “Perkara Yang Wajib Dibenarkan Secara Pasti” (baca: aqidah) Bukan Berarti Diingkari!



Setelah uraian di atas yang panjang-lebar, kami ingin memberi klarifikasi bahwa tidak menjadikan hadits ahad dalam perkara Aqidah bukan berarti menolak atau mengingkari kandungan makna yang dibawa oleh hadits ahad. Yang benar adalah bahwa hadits ahad tetap harus dibenarkan sesuai dengan kapasitas dalil yang datang kepada kita.

Tapi ada sementara orang yang mengatakan “bukankah mengatakan bahwa iman tidak dibangun berdasarkan hadits ahad di satu sisi dan mengatakan hadits ahad tetap harus dibenarkan pada sisi yang lain merupakan pernyataan yang bodoh dan kontradiktif? Seperti seseorang yang mengatakan bahwa “kita harus turun” tapi pada saat bersamaan ia juga mengatakan “kita juga harus naik”, apakah itu bukan mustahil namanya? Bagaimana mungkin seseorang bisa “tidak mengimani” tapi sekaligus “membenarkan” ? Bagaimana mungkin hadits ahad itu “ditolak” dalam aqidah tapi pada saat yang sama dia juga dibenarkan?” . Itulah perkataan mereka.



Jawab: Sesungguhnya pernyataan ini hanya muncul pada orang-orang yang tidak mau menelaah pendapat kami dengan cermat dan sabar. Jika dia mengikuti uraian kami dengan baik tentang apa yang kami maksud dengan tasqiiqul jazm (pembenaran pasti), imaan dan aqiidah, niscaya pertanyaan seperti itu tidak akan muncul.

Berkali-kali kami tegaskan bahwa yang kami maksud dengan iman adalah pembenaran yang pasti-tashdiiqul jazm, yang tidak mengandung keraguan sebutir debu pun. Tashdiiqul jazm itu bukan sembarang pembenaran, ia adalah salah satu jenis pembenaran di antara pembenaran-pembenar an yang ada. Lebih tepatnya adalah tingkat pembenaran yang paling tinggi dan sempurna. Pembenaran yang pasti hanya bisa dicapai dengan adanya dalil yang pasti (qoth’i). Kok bisa? Ya, karena bagaimana mungkin dalil yang tidak pasti akan menghasilkan pembenaran yang pasti? Jadi kesimpulannya, karena iman itu adalah tashdiiqul jazm, maka iman itu bukan sembarang pembenaran, tapi ia adalah pembenaran berdasarkan dalil yang pasti. Pembenaran yang tidak berlandaskan dalil yang bersifat pasti tidak bisa dikatakan iman. Jadi tidak mengimani artinya adalah tidak membenarkannya secara pasti, bukan tidak membenarkannya sama sekali.

Jika dalil-dalil syara’ yang qoth’i (wurut/tsubut) menunjukkan kebenaran sesuatu secara pasti (dalam dilalahnya), maka wajib bagi siapa saja untuk membenarkannya secara pasti (baca = mengimani). Masalah yang wajib dibenarkan secara pasti itu yang disebut sebagai masalah-masalah aqidah. Ada perlakuan khusus bagi orang yang tidak membenarkan secara pasti terhadap masalah aqidah, yakni dia akan dikatakan kafir. Jika dia sebelumnya seorang muslim, maka saat dia tidak-membenarkan- secara-pasti salah satu masalah di antara masalah-masalah yang didalili dengan dalil yang qoth’i, maka dia akan dianggap murtad. Contohnya seperti tidak membenarkan secara pasti bahwa Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul terakhir, maka dia murtad.



Berbeda dengan hal-hal yang tidak datang dari dalil-dalil yang qoth’i, seperti hadits tsumma takuunu khilaafatan ‘alaa minhaajin nubuwwah -kemudian akan ada khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian. Hadits ini hadits ahad yang aspek tsubutnya (sumber pengambilan) dzonniy. Kita membenarkan dan tidak mengingkari isi hadits ini, yaitu bahwa besok akan ada khilafah yang berdiri di atas manhaj kenabian. Kami sering menggunakan hadits ini untuk menyemangati kaum muslimin agar mereka terlibat dalam usaha mengembalikan khilafah. Akan tetapi, karena hadits ini hadits ahad, maka kita tidak bisa membenarkannya dengan pembenaran yang pasti. Dengan demikian masalah akan adanya khilafah ini tidak bisa dimasukkan ke dalam perkara aqidah, dimana kaum muslimin tidak dituntut untuk membenarkannya secara pasti dan siapa saja yang menolaknya maka tidak kita anggap kafir. Maka, siapa saja yang meragukan akan adanya khilafah di masa datang tidak jatuh dalam kekafiran. Hanya saja, dia jatuh pada kesalahan. Yakni menolak sesuatu yang kebenarannya diduga kuat.



Penjelasannya begini: Kami telah tegaskan pendirian kami tentang hadits ahad, bahwa ia bersifat dzonniy -dugaan kuat. Maka dia tidak bisa menghasilkan pembenaran yang pasti. Akan tetapi adalah sebuah kesalahan jika kita mengingkari apa yang dibawa oleh hadits ahad. Mengingkari apa yang telah terbukti kuat kebenarannya -walau pun tidak 100%- adalah sebuah kebodohan yang jelas. Sebab yang disebut dugaan kuat adalah kecenderungan kuat ke arah pembenaran dari pada ke arah pengingkaran. Itu artinya lebih mudah menerima dari pada menolaknya, dan lebih mudah membenarkannya dari pada mendustakannya. Lebih dari itu, sesuatu yang didasarkan pada dalil yang tidak sampai derajat pasti bukan berarti pasti ketiadaannya. Sebab dibutuhkan dalil pengingkaran yang qoth’i untuk memastikan ketiadaan sesuatu yang telah diduga kuat keberadaannya. Sebagai ilustrasi, kembalinya khilafah adalah sesuatu yang tidak pasti/qoth’i, tidak bisa dibenarkan secara jazm, dia hanya gholabatudz- dzon-kepercayaan yang kuat. Akan tetapi tidak bisa dikatakan bahwa karena informasi kembali berdirinya khilafah itu tidak qoth’i maka disimpulkan bahwa khilafah itu tidak akan pernah berdiri. Kesimpulan ini justru merupakan keyakinan yang tidak berdasarkan dalil sama sekali. Contoh lain, pertanyaan dalam kubur didasarkan pada hadits ahad, dan dia tidak qoth’i. Tapi seseorang tidak bisa sama sekali mengingkari adanya pertanyaan dalam kubur hanya dengan alasan bahwa dalil tentang pertanyaan dalam kubur itu tidak qoth’i. Ini salah. Sebab jika seseorang mempercayai pertanyaan kubur sebagai pembenaran yang kuat -meski tidak sampai jazm-, maka pembenaran itu merupakan suatu tindakan yang berdasarkan dalil dzonniy yang memang menghasilkan pembenaran yang kuat (gholabatudz- dzon). Tapi seseorang yang memastikan bahwa pertanyaan dalam kubur itu tidak ada -hanya dengan alasan dalilnya tidak qoth’i- maka orang ini justru tidak mendasarkan keyakinannya pada suatu dalil pun. Orang yang mengingkari apa yang didasarkan pada hadits ahad yang shohih tanpa dalil adalah orang yang salah dan dia berdosa karena kesalahannya itu. Kecuali jika pengingkarannya itu didasarkan pada suatu dalil yang lebih kuat (seperti hadits yang lebih shohih atau mutawatir).



Maka Masalah turunya Isa Al Masih ‘alaihis salam, munculnya Dajjal, Imam Mahdi, berdirinya khilafah kembali, pertanyaan dalam kubur, dan lain-lain, adalah masalah-masalah yang didasarkan pada khobar ahad, maka kami membenarkannya sesuai kualitas dalil yang datang kepada kita. Hanya saja masalah-masalah itu tidak termasuk perkara yang wajib untuk “dibenarkan- dengan-pembenara n-yang-pasti” , dimana siapa saja yang ragu atau mendustakannya tidak bisa dihukumi murtad. Mengapa demikian? Karena memang tidak ada jalan untuk membenarkannya dengan pembenaran yang pasti. Demikianlah, sekarang apakah pernyataan “kami membenarkan apa yang dibawa oleh hadits ahad, tapi kami tidak menganggapnya sebagai perkara keimanan” masih terlihat kontradiktif? wa billaahit taufiq.



2. Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Hujjah Dalam Aqidah Bukan Berarti Menentang Apa Yang Disabdakan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam



Perkataan, perbuatan dan taqriir Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hujjah dalam aqidah dan amal perbuatan. Ini adalah masalah qoth’i, ma’luumun minaddiini bidhorurah -suatu hal yang jelas-jelas jelas dalam agama islam. Perkataan, perbuatan dan taqriir Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam itulah yang diistilahkan sebagai as-sunah dalam disiplin ilmu ushul. Menolak as-sunah secara umum sebagai hujjah dalam agama, baik dalam masalah ushul mau pun furu’ merupakan kekafiran. Sebab banyak ayat dalam Al Qur’an Al Kariim yang menegaskan dengan penunjukkan yang qoth’i bahwa As-sunah juga merupakan wahyu. Disamping itu, Al Qur’an juga memerintahkan kita secara tegas untuk mentaati, meneladani dan berhukum kepada Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam -maksudnya berhukum kepada risalah yang beliau bawa. Oleh karena itu, pengakuan atas keharusan mengambil as sunah sebagai dalil dalam aqidah dan amal merupakan permasalahan i’tiqod. Menolak ini berarti keluar dari islam.



Oleh karena itu, umat islam wajib ber-istidlaal dengan as-sunah, baik dalam perkara aqidah mau pun amal. Taqiyuddiin An Nabhaaniy rahimahullah sudah menegaskan hal itu sebelum beliau memasuki pembahasan masalah berhujjah dengan khobar ahad (lihat bab As-sunnatu daliilun syar’iyyun ka-Al-Qur’aan dan Al Istidlaalu bi As Sunnah dalam Asy-syakhshiyyah juz I). Beliau menjelaskan masalah ini dengan cukup berikut dalil-dalilnya yang qoth’i. Alhamdulillaah perkara ini sangat jelas.



Kemudian jika ada yang menanyakan: kenapa Taqiyuddiin An Nabhaani mengatakan bahwa hadits nabi yang mutawatir itu qoth’i, memberi faedah ilmu, harus dibenarkan secara pasti, sedang hadits nabi yang ahad itu tidak qoth’i, hanya menghasilkan dzon (pembenaran yang tidak sampai pasti), dan tidak boleh dibenarkan secara pasti? Padahal, apakah ada shahabat yang mendengar sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan: “sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar barusan ini qoth’i, ia harus kita benarkan secara pasti dan harus kita gunakan sebagai dalil aqidah, sedangkan sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar tadi pagi maka itu dzonny, tidak bisa kita gunakan sebagai hujjah untuk perkara yang menuntut kepastian (aqidah)!”. Apakah ada shohabat yang membagi-bagi sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi qothi-dzonniy, kemudian menolak yang dzonniy dalam aqidah seperti yang dilakukan Taqiyuddiin?



Jawabnya: memang benar, jika kita mendengar langsung apa yang disabdakan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam, maka kita harus membenarkan dengan pasti seluruh apa yang beliau sabdakan, jika itu menyangkut perkara aqidah dan hukum syara’. Sabda Nabi yang kita dengar dalam aqidah dan hukum itu merupakan wahyu dari Allah, bukan ijtihad beliau sendiri. Sehingga semuanya pasti benar, mendustakannya adalah kafir kepada kerasulan Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Dengan begitu sabda nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang kita dengar secara langsung itu tidak dibagi-bagi menjadi qoth’i dan dzonniy. Tidak juga dibagi menjadi dlo’if, hasan dan shohih. Tidak pula menjadi ghorib, ‘aziz, mustafidl dan mutawatir. Tidak ada yang áliy tidak ada yang nazil. Tidak ada pula yang berta’arudl (bertentangan) sehingga harus ada yang rajih (dipilih) dan yang marjuh (dikalahkan) . Tidak ada yang muttashil, munqothi’, mu’allaq, maupun mursal. Tidak seorang shohabat pun yang mendengar sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam secara langsung membagi-bagi sunah menjadi banyak macam seperti itu.



Tapi kenapa para ulama membagi-bagi hadits yang mereka dengar dari para guru mereka menjadi bermacam-macam? Kemudian mereka menolak hadits yang mereka anggap maudlu’, munkar, syadz, mudlthorob, munqothi’, mu’allaq, mu’allal, dan jenis-jenis hadits dlo’if yang lain? Hal itu telah kita ketahui bersama. Lantas kenapa tidak ditanyakan kepada para ulama itu: “kenapa kalian menolak sabda Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam?”.



Jawabnya kita sudah tahu, bahwa mengimani sunah sebagai hujjah itu berbeda dengan mengambil as sunah dari orang yang meriwayatkannya. Para ulama tidak mendengar sunah langsung dari nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mendengarnya dari orang lain, yang mana orang itu juga mendengarnya dari orang lain. Maka mereka menyeleksi mana orang-orang yang pantas diterima periwayatannya dan mana yang tidak dengan metode yang ketat. Dengan begitu, mereka mengambil sebagian hadits yang mereka anggap kuat dan menolak yang dianggap lemah. Yang mereka terima pun ada yang tergolong hasan, dan ada yang shohih. Hadits shohih lebih kuat dari hadits hasan. Hadits dari keenam kitab induk lebih kuat dari hadits-hadits yang lain. Hadits shohih yang diriwayatkan bersama antara Al Bukhori dan Muslim lebih kuat dari semua hadits shohih yang bukan diriwayatkan oleh keduanya. Hadits shohih dari Al Bukhori lebih kuat dari hadits Muslim. Lebih dari itu, semua hadits ahad yang shohih tidak lebih kuat dari hadits mutawaatir.



Begitulah, kekuatan hadits itu bertingkat-tingkat. Jika hadits ahad itu semuanya qoth’i, niscaya dia tidak bertingkat-tingkat. Dan jika dia qoth’i, niscaya dia tidak lebih lemah dari hadits mutawaatir. Mana ada sesuatu yang telah qoth’i bisa dianggap lebih lemah dari yang lain? Dan ingat, yang dianggap memiliki kelemahan bukanlah as sunah, melainkan periwayat, atau metode periwayatan. wallaahu a’lam



3. Tidak Menjadikan Hadits Ahad Sebagai Hujjah Dalam Aqidah Bukan Berarti Menentang Orang Yang Meriwayatkannya



Ada orang yang bertanya: “anda tidak menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam aqidah, padahal anda ini bukan ahli hadits. Sedangkan Imam Al Bukhori yang jelas jauh lebih tahu tentang hadits dari pada anda, telah mencantumkan hadits-hadits yang tidak anda pakai dalam aqidah itu. Apakah anda merasa bahwa diri anda lebih paham dari pada Imam Al Bukhori?”.



Maka jawabnya tidak. Kami tidak lebih alim dari Imam Besar itu. Tapi kami hanya mengatakan bahwa apa yang mereka riwayatkan secara ahad tidak qoth’i, tidak bisa dipastikan bahwa nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam memang mengatakan seperti apa yang beliau terima. Tapi kami juga tidak mendustakan apa yang beliau terima. Dengan metode yang beliau gunakan, hadits yang didapat maksimal menghasilkan gholabatudz- dzon, yakni kearah pembenaran yang kuat, kecuali yang mutawaatir maka dia qoth’i.



Kami berpendapat beliau tidak menyatakan bahwa apa yang beliau riwayatkan adalah 100% benar dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Pernyataan seperti ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad -menurut salah satu dari dua riwayat (lihat buku Al Qorodlowi: Sunah Nabi Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Gema Insani Press).



Di samping itu, kebanyakan para pemilik kitab hadits belum melakukan istidlaal dengan hadits-hadits yang mereka riwayatkan. Mereka hanya menyajikan hadits yang mereka anggap shohih dengan apa adanya tanpa syarah dan tanpa menunjukkan aspek pendalilannya. Mereka belum berhujjah dengan hadits-hadits itu untuk menunjukkan sikap mereka dalam masalah aqidah maupun hukum.



Disamping itu, kami tidak berpendapat bahwa meriwayatkan hadits ahad yang mengandung aspek aqidah itu tidak boleh (yang biasanya berupa khobar ghoib). Boleh-boleh saja meriwayatkan hadits tentang Dajjal, Imam Mahdi, atau turunya Isa ‘alaihis salam. Yang tidak bisa dilakukan adalah menjadikan masalah Dajjal ini sebagai bagian dari masalah yang harus dibenarkan secara pasti, sehingga menganggap kafir siapa saja yang meragukannya. Padahal, dalilnya hadits ahad, yang hanya bisa dibenarkan dengan pembenaran yang kuat tapi tidak sampai pasti. Tapi juga tidak boleh mengingkarinya.



Di samping itu, jika hadits ahad yang mengandung masalah aqidah itu tidak boleh diriwayatkan, maka tidak akan pernah ada hadits aqidah yang mutawaatir, seperti tentang adanya syafaat. Sebab hadits mutawaatir pada hakekatnya tersusun dari hadits ahad, yang diriwayatkan dari orang ke orang. Hanya saja riwayat-riwayat yang masing-masing ahad itu jumlahnya banyak sehingga tidak mungkin perowinya sepakat berbohong atau jatuh pada kesalahan yang sama.

Wallaahu Al muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq

Shollallaahu ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa ash-haabihi wa sallam

walhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin

10 ALASAN TOLAK OBAMA

10 Alasan Tolak obama
Batalkan perjanjian kemitraan komprehensif
1. Obama adalah kepala negara Amerika Serikat (AS), negara penjajah. Menerima obama sang penjajah bertentangan dengan sikap politik indonesia yang anti penjajah.
2. Obama juga akan menekan indonesia melalui perjanjian kemitraan (baca: penjajahan) komprehensif, dimana aturan main (peraturan dan perundang-undangan) RI dibuat sejalan dengan kepentingan perusahaan-perusahaan amerika di negeri ini. Aturan main ini akan dijalankan dan dijamin pelaksanaannya dalam jangka panjang oleh pemerintah indonesia sekalipun rezim pemerintah indonesia berganti. Penjajahn komprehensif ini telah membuka jalan dan memberi kesempatan selua-luasnya bagi perusahaan AS “merampok” kekayaan alam indonesia dari aceh sampai papua.
3. Perjanjian kemitraan komprehensif bukanlah perjanjian kemitraan sejajar, tetapi perjanjian yang bersifat imperealistik. Antara penguasa negara adidaya imperealis dengan penguasa kaki tangan penjajah. Setara dengan Lol (Letter of intent) yang ditandatangani soeharto dan IMF pada tahun 1998 yang telah membuat indonesia semakin terpuruk sampai saat ini.
4. Kedatanagn obama untuk mengokohkan proses demokratisasi dan kapitalisme yang dijalankan pemerintah indonesia selama ini. Padahal sistem inilah yang menjadi sumber berbagai persoalan di indonesia.
5. Obama menjadikan indonesia kerbau tunggangan untuk membangun citra positif amerika terhadap dunia islam, agar dapat menutupi kejahatan tentaranya di negeri islam yang lain.
6. Obama akan menekan susilo bambang yudhoyono untuk mengembalikan penguasaan blok natuna D-Alpha yang kaya akan gas dan minyak kepada exxonMobil, sesuai dengan kesepakatan sebelum 1995 yang memberikan 100% bagi hasil untuk exxonMobil.
7. Obama adalah presiden perang (the war president), dia terus menambah pasukan ke afghanistan dan menggelar operasi militer dengan senjata mematikan diantaranya pesawat tanpa awak / drone. Operasi ini telah membunuhi penduduk sipil termasuk perempuan dan anak-anak.
8. Obama masih mempertahankan pasukan AS di irak, yang selama pendudukannya telah membunuh lebih dari 1 juta umat islam.
9. Obama adalah pendukung setia Zionis Israel, yang merampas tanah palestina dan hingga saat ini terus membantai umat islam di Palestina.
10. Amerika serikat adalah negara yang sedang memerangi umat islam. Status negara AS adalah Muhariban Fi’lan. Oleh Karena itu, islam mengharamkan kaum muslimin menjalin hubungan dalam bentuk apapun dengan AS, termasuk menyambut kedatangan kepala negaranya dan membuat perjanjian kemitraan komprehensif. Amerika serikat adalah musuh Allah SWT, musuh Rasul-Nya dan Musuh Umat Islam.

SIAPAKAH AHLUSSUNNAH WALJAMA'AH???

Dari : Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

Kesimpulan :
Boleh saja suatu golongan mengaku-ngaku Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, tapi apabila mereka tidak berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, maka tidaklah bisa dikatakan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para ulama Ahli Ijtihad dan Ahli Hadits yang berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah dan siapa saja yang mengikuti mereka dalam hal tersebut sampai hari kiamat.

------
Dewasa ini marak pengakuan dari berbagai pihak yang mengklaim dirinya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sehingga menyebabkan adanya kerancuan dan kebingungan dalam persepsi banyak orang tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu ?

Mengetahui siapa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat penting dan salah satu bekal yang harus ada pada setiap muslim yang menghendaki kebenaran sehingga dalam perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang lurus dalam menyembah Allah Subhaanahu wa Ta’aala sesuai dengan tuntunan syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam empat belas abad yang lalu.

Pengenalan akan siapa sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya ketika beliau berkata kepada mereka :

افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah ”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.

Demikianlah umat ini akan terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah kita saksikan pada zaman ini yang mana hal tersebut merupakan suatu ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala Yang Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus terlaksana dan Allah Subhaanahu wa Ta’aala Maha Mempunyai Hikmah dibelakang hal tersebut.

Syaikh Sh oleh bin Fauzan Al-Fauzan -hafidzahullahu- menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut dalam kitab Lumhatun ‘Anil Firaq cet. D arus Salaf hal.23-24 beliau berkata : “(Perpecahan dan perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala guna menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari kebenaran dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.

Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman :

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang yang benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-Ankabut : 29 / 1-3).

Dan Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman :

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya ” . (QS. Hud : 10 / 118-119)

" Dan kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. Al-An’am : 6 / 35).”

Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam :

قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ

“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul Jannah.

Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- :

خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ] وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [

“Pada suatu hari Rasulullah r menggaris di depan kami satu garisan lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”. (QS. Al-An’am : 6 / 153 )” .

Diriwayatkan oleh : Abu Daud Ath-Thoy alisy dalam Musnadnya no. 244, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 8/88, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam As-Sunnah no.11, Sa’id bin Manshur dalam Tafsirnya 5/113 no 935, Ahmad 1/435, Ad Darimy 1/78 no 202, An-Nasai dalam Al-Kubro 5/94 no.8364 dan 6/343 no.11174, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 1/180-181 no.6-7 dan dalam Al-Mawarid no 1741, Al-Hakim dalam Mustadraknya 2/348, Asy-Syasyi dalam Musnadya 2/48-51 no.535-537, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/263 dan Al-Lalaka’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/80-81. Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain.

Adapun penamaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini akan diuraikan dari beberapa sisi :

Pertama : Definisi Sunnah.

Sunnah secara lughoh (bahasa) : berarti jalan, baik maupun jelek, lurus maupun sesat, demikianlah dijelaskan oleh Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab 17/89 dan Ibnu An-Nahhas.

Makna secara lughoh itu terlihat dalam hadits Jarir bin ‘Abdullah. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَنْ سْنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ

“Siapa yang membuat sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya dan siapa yang membuat sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelahnya”. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shohih nya no.1017.

Lihat Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Bid’ah Wal Ahwa`i 1/29-33 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jam a’ah Wa Manhajul Asya’irah Fi Tauhidillah I/19.

Adapun secara istilah : Sunnah mempunyai makna khusus dan makna umum. Dan yang diinginkan di sini tentunya adalah makna umum.

Adapun makna sunnah secara khusus yaitu makna menurut istilah para ulama dalam suatu bidang ilmu yang mereka tekuni :

* Para ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pen.) maupun sifat lahir dan akhlak.
* Para ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan.
* Para ulama fiqh memberikan definisi sunnah sebagai hukum yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam di bawah hukum wajib.

Adapun makna umum sunnah adalah Islam itu sendiri secara sempurna yang meliputi aqidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat.

Berkata Imam Al-Barbahary : “Ketahuilah sesungguhnya Islam itu adalah sunnah dan sunnah adalah Islam dan tidaklah tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya” (lihat : Syarh As-Sunnah hal.65 point 1).

Berkata Imam Asy-Sy athiby dalam Al-Muwafaq ot 4/4 : “(Kata sunnah) digunakan sebagai kebalikan/lawan dari bid’ah maka dikatakan : “Si fulan di atas sunnah” apabila ia beramal sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang sebelumnya hal tersebut mempunyai nash dari Al-Qur’an, dan dikatakan “Si Fulan di atas bid’ah” apabila ia beramal menyelisihi hal tersebut (sunnah)”.

Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fat aw a 4/180 menukil dari Imam Abul Hasan Muhammad bin ‘Abdul Malik Al-Karkhy beliau berkata : “Ketahuilah… bahwa sunnah adalah jalan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mengupayakan untuk menempuh jalannya dan ia (sunnah) ada 3 bagian : perkataan, perbuatan dan aqidah”.

Berkata Imam Ibnu Rajab -rahimahullahu ta’ala- dalam Jami’ Al-‘Ulum Wal Hikam hal. 249 : “Sunnah adalah jalan yang ditempuh, maka hal itu akan meliputi berpegang teguh terhadap apa-apa yang beliau r berada di atasnya dan para khalifahnya yang mendapat petunjuk berupa keyakinan, amalan dan perkataan. Dan inilah sunnah yang sempurna, karena itulah para ulama salaf dahulu tidak menggunakan kalimat sunnah kecuali apa-apa yang meliputi seluruh hal yang tersebut di atas”. Hal ini diriwayatkan dari Hasan, Al-Auza’iy dan Fudhail bin ‘Iyadh”.

Demikianlah makna sunnah secara umum dalam istilah para ‘ulama -rahimahumullah- dan hal itu adalah jelas bagi siapa yang melihat karya-karya para ulama yang menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah dimana akan terlihat bahwa mereka menginginkan makna sunnah secara umum seperti :

* Kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim.
* Kitab As-Sunnah karya Imam Ahmad.
* Kitab As-Sunnah karya Ibnu Nashr Al-Marwazy.
* Kitab As-Sunnah karya Al-Khallal.
* Kitab As-Sunnah karya Abu Ja’far At-Thobary.
* Kitab Syarh As-Sunnah karya Imam Al-Barbahary.
* Kitab Syarh As-Sunnah karya Al-Baghawy.
* dan lain-lainnya.

Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah 1/29-35, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah 1/19-23.

Kedua : Makna Ahlus Sunnah.

Penjelasan makna sunnah di atas secara umum akan memberikan gambaran tentang makna Ahlus Sunnah (pengikut sunnah-ed.).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 3 hal.375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan apa-apa yang disepakati oleh orang-orang terdahulu yang pertama dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.

Berkata Ibnu Hazm dalam Al-Fishal jilid 2 hal. 281 : “Dan Ahlus Sunnah -yang kami sebutkan- adalah ahlul haq (pengikut kebenaran) dan selain mereka adalah ahlul bid’ah (pengikut perkara-perkara baru dalam agama), maka mereka (ahlus sunnah) adalah para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari orang-orang pilihan di kalangan tabi’in kemudian Ashhabul Hadits dan siapa yang mengikuti mereka dari para ahli fiqh zaman demi zaman sampai hari kita ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dari orang awam di Timur maupun di Barat bumi -rahmatullahi ’alaihim- ”.

Dan Ibnul Jauzy berkata dalam Talb is Iblis hal.21 : “Tidak ada keraguan bahwa ahli riwayat dan hadits yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan jejak para sahabatnya mereka itulah Ahlus Sunnah karena mereka di atas jalan yang belum terjadi perkara baru padanya. Perkara baru dan bid’ah hanyalah terjadi setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya”.

Berkata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fataw a 3/157 :” Termasuk jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengikuti jejak-jejak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam secara zhohir dan batin dan mengikuti jalan orang-orang terdahulu yang pertama dari para (sahabat) Muhajirin dan Anshar dan mengikuti wasiat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam tatkala berkata : “Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah setelahku berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.”

Dan beliau berkata dalam Majmu’ Fataw a 3/375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan kitab Allah dan sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan apa-apa yang disepakati oleh generasi dahulu yang pertama dari kaum Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik”.

Dan di dalam Majmu’ Fatawa 3/346 beliau berkata : “Siapa yang berkata dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma’ maka ia termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah“.

Berkata Abu Nashr As-Sijzy : “Ahlus Sunnah adalah mereka yang kokoh di atas keyakinan yang dinukil kepada mereka olah para ulama Salafus Sholeh -mudah-mudahan Allah Subhaanahu wa Ta’aala merahmati mereka – dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam atau dari para sahabatnya -radhiyallahu ‘anhum- pada apa-apa yang tidak ada nash dari Al-Qur’an dan dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam , karena mereka itu -radhiyallahu ‘anhum- para Imam dan kita telah diperintahkan mengikuti jejak-jejak mereka dan sunnah mereka, dan ini sangat jelas sehingga tidak butuh ditegakkannya keterangan tentangnya”.

(Lihat : Ar-Raddu ‘ Ala Man Ankaral Harf hal.99)

Maka jelaslah dari keterangan-keterangan di atas dari para Imam tentang makna penamaan Ahlus Sunnah bahwa Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang menerapkan Islam secara keseluruhan sesuai dengan petunjuk Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya berdasarkan pemahaman para ulama salaf dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik .

Dan tentunya merupakan suatu hal yang sangat jelas bagi orang yang memperhatikan hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam akan disyariatkannya penamaan Ahlus Sunnah terhadap orang-orang yang memenuhi kriteria-kriteria di atas.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menyatakan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah -radhiyallahu ’anhu- :

صَلَّى لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُ مُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Rasulullah sholat bersama kami sholat Shubuh, kemudian beliau menghadap kepada kami kemudian menasehati kami dengan suatu nasehat yang hati bergetar karenanya dan air mata bercucuran, maka kami berkata : “Yaa Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka berwasiatlah kepada kami”. Maka beliau bersabda : “Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun yang menjadi pemimpin atas kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang Ethopia) karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak maka berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan kepada sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah .”. Hadits shohih dari seluruh jalan-jalannya.

Dan masih banyak lagi dalil yang menunjukkan hal di atas. Wallahu a’lam.

Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/36-37, 47-49, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66, 268-269 dan Manhaj Ahlus Sunnah 1/19-20, 24-27.

Ketiga : Definisi Jama’ah.

Jama’ah secara lughoh : Dari kata Al-Jama’ bermakna menyatukan sesuatu yang terpecah, maka jama’ah adalah lawan kata dari perpecahan.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 2/157 : “Dan mereka dinamakan Ahlul Jama’ah karena Al-Jama’ah adalah persatuan dan lawannya adalah perpecahan.”

Adapun secara istilah para ulama berbeda penafsiran tentang makna jama’ah yang tersebut di dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam , di antara hadits-hadits itu adalah :

Satu : Hadits perpecahan ummat yang telah disebutkan di atas

Dua : Wasiat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah dalam hadits riwayat Bukhory-Muslim , beliau berkata :

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ

“Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan Imamnya .”

Tiga : Hadits Ibnu ‘Abbas riwayat Bukhory-Muslim Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شَيْئًا فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Karena sesungguhnya siapa yang berpisah dengan Al-Jama’ah sedikitpun kemudian ia mati maka matinya adalah mati jahiliyah” .

Empat : Hadits Ibnu ‘Abbas Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ

“Tangan Allah di atas Al-Jama’ah” .

Dari hadits-hadits di atas dan yang semisalnya para ulama berbeda di dalam menafsirkan kalimat Al-Jama’ah yang terdapat di dalam hadits-hadits tersebut sehingga ditemukan ada enam penafsiran :

Pertama : Jama’ah adalah Assawadul A’zhom (kelompok yang paling besar dari umat Islam). Ini adalah pendapat Abu Mas’ud Al-Anshory, ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Ghalib.

Kedua : Al-Jama’ah adalah jama’ah ulama ahli ijtihad atau para ulama hadits, dikatakan bahwa mereka ini adalah jama’ah karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala menjadikan mereka hujjah terhadap makhluk dan manusia ikut pada mereka pada perkara agama.

Berkata Imam Al-Bukhory menafsirkan jama’ah : ”Mereka adalah ahlul ‘ilmi (para ulama)”.

Dan Imam Ahmad berkata tentang jama’ah : ”Apabila mereka bukan Ashhabul Hadits (ulama hadits) maka saya tidak tahu lagi siapa mereka”.

Dan Imam Tirmidzi berkata : ”Dan penafsiran jama’ah di kalangan para ulama bahwa mereka adalah ahli fiqh, (ahli) ilmu dan (ahli) hadits”.

Dan ini merupakan pendapat ‘Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin Rahaway, ‘Ali bin Al-Madiny, ‘Amr bin Qais dan sekelompok dari para ulama salaf dan juga merupakan pendapat ulama ushul fiqh.

Ketiga : Al-Jama’ah adalah para sahabat. Hal ini berdasarkan hadits perpecahan umat yang di sebahagian jalannya disebutkan bahwa yang selamat adalah Al-Jama’ah dan dalam riwayat yang lain : “Apa-apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. Dan ini adalah pendapat “Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan Imam Al-Barbahary.

Keempat : Al-Jama’ah adalah jama’ah umat Islam apabila mereka bersepakat atas satu perkara dari perkara-perkara agama. Pendapat ini disebutkan oleh Imam Asy-Syathiby.

Kelima : Al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin apabila mereka bersepakat di bawah seorang pemimpin. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary dan Ibnul Atsir.

Keenam : Al-Jama’ah adalah jama’ah kebenaran dan pengikutnya. Ini adalah pendapat Imam Al Barbahary dan Ibnu Katsir.

Demikianlah penafsiran-penafsiran para ulama tentang makna Al-Jama’ah, yang semuanya itu akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :

* Penafsiran-penafsiran tersebut walaupun saling berbeda lafadz dan konteksnya akan tetapi tidak saling bertentangan bahkan saling melengkapi makna maupun kriteria Al-Jama’ah.
* Maka jelaslah bahwa makna Al-Jama’ah yang dikatakan sebagai golongan yang selamat dan pengikut kebenaran adalah Islam yang hakiki yang belum dihinggapi oleh noda yang mengotorinya.
* Mungkin bisa disimpulkan dari penafsiran-penafsiran Al-Jama’ah di atas bahwa makna Al-Jama’ah kembali kepada dua perkara :

Satu : Jama’ah yang berarti bersatu di bawah kepemimpinan seorang pemerintah sesuai dengan ketentuan syariat maka wajib untuk komitmen terhadap jama’ah ini dan diharamkan untuk keluar darinya dan mengadakan kudeta terhadap pemimpinnya .

Dua : Jama’ah yang berarti mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian diikuti oleh para sahabatnya, para ulama ahli ijtihad dan ahlul hadits yang mereka itulah Assawadul A’zhom dan pengikut kebenaran.

Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud tentang Al-Jama’ah :

الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَك

“Al-Jama’ah adalah apa yang mencocoki kebenaran walaupun engkau sendiri”.

Berkata Abu Sy amah dalam Al-Ba’its hal.22 : “Dan apabila datang perintah untuk komitmen terhadap Al-Jama’ah, maka yang diinginkan adalah komitmen terhadap kebenaran dan pengikut kebenaran tersebut walaupun yang komitmen terhadapnya sedikit dan yang menyelisihinya banyak orang. Karena kebenaran adalah apa-apa yang jama’ah pertama r dan para sahabatnya berada di atasnya dan tidaklah dilihat kepada banyaknya ahlul bathil setelah mereka.”

Lihat : Al-I’tishom 2/767-776 tahqiq Salim Al-Hilaly, Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhaj Al-Asy’ariyah Fi Tauhidillah 1/20-23, Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/49-54, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah 1/26-32.

Kesimpulan :

Bisa disimpulkan dari seluruh penjelasan di atas bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para ulama Ahli Ijtihad dan Ahli Hadits yang berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah dan siapa saja yang mengikuti mereka dalam hal tersebut sampai hari kiamat. Wal Ilmu ‘Indallah .

Wujud keimanan dalam Islam

Iman adalah pembenaran yang bersifat pasti. Keimanan merupakan suatu yang harus diyakini oleh hati dan akal, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Keimanan harus dicari dan dibuktikan kebenarannya. Keimanan tidak bisa diwarisi oleh seorang anak dari orang tuanya. Karena keimanan adalah sesuatu yang lahir dari pemahaman.
Walaupun pada dasarnya setiap manusia memiliki naluri beragama yang fitrah dalam dirinya, namun terkadang semata naluri saja tidak cukup untuk membangun keimanan yang kokoh. Naluri beragama yang ada pada diri manusa ini atau yang biasa disebut dengan Gharizah at-tadayyun jika dibiarkan saja tanpa dibantu oleh akal maka biasanya akan menambah-nambahi keimanan dengan sesuatu yang tidak ada dasarnya.
Oleh sebab itu, tidak bisa dibenarkan jika keimanan hanya dibangun berlandaskan perasaan hati(naluri) semata saja. Akibat paling fatal dari hal ini adalah bisa menyebabkan terjerumusnya keimanan kita pada hal-hal tahayul, khurafat, bid'ah dan kesyirikan.
Keimanan kadang naik kadang menurun. Ketika keimanan tidak dipupuk dan dibiarkan nganggur saja maka keimanan itu akan semakin pudar dan luntur. Ketika keimanan itu sering kita pupuk dan kita sirami maka ia akan semakin tumbuh dan kokoh. Al quran mengibaratkan keimanan yang baik itu seperti pohon yang baik yang akar-akarnya teguh dan cabang-cabangnya menjulang ke langit, setiap tahunny menghasilkan buah-buahan dengan izin Allah(QS.IBERHIM:24). kemudian keimanan yang buruk itu diumpakn seperti pohon yang buruk yang akar-akarnya tercabut dari permukaan bumi sehingga tidak dapat tetap tegak sedikidpun.(QS.IBERAHIM:26).
Karena itulah kemudian memupuk keimanan merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan oleh setiap orang yang beriman. Lantas sekarang bagaimanakah cara kita memupuk keimanan itu? Kembali kita ikuti petunjuk AlQuran dimana di dalamnya dikatakan bahwasanya Allah menjadikan ketentraman hati sebagai penambah keimanan bagi setiap orang beriman.(QS.AL-FATH:4). Pertanyaannya bagaimanakah kita memperoleh ketentraman hati? apakah dengan mendengarkan musik, atau dengan main game,atau dengan piknik? ternyata tidak demikian. Alquran kembali mengajarkan kepada kita untuk mendaptkan ketentraman hati jalan satu-satunya adalah dengan banyak-banyak mengingat Allah.
Dengan demikian sudah sepatutnya bagi kita orang beriman untuk mengingat Allah di setiap keadaan. Menjaga aturan-aturan Allah di setiap aktifitas kita, sebab setiap aktifitas orang beriman itu telah diatur oleh Allah melalui syariat-NYa.
Walhasil, jika keimanan kita ingin terus terjaga maka kita wajib mengikatkan diri dengan hukum-hukum Allah seluruhnya. Mengingat Allah di setiap waktu, sehingga rasa takut terhadap pengawasan Allah terus ada pada diri kita. Dengan begitu, kita akan terus terpacu untuk enjaga diari dan menjalankan segala perintah-Nya dan menjahui segala larangan-Nya.
Akhirnya, itulah wujud keimanan yang sempurna.
Wallahu a'llam bisshowwab
satu hal yang sangat membekas sampai hari ini adalah kata-kata dari ustadz saya, beliau mengutip salah satu sabda baginda Nabi SAW ketika beliau pertama kali menerima wahyu beliau bersabda: "LAA RAHAATA BA'DAL YAUUM YAA KHADIJAH" Tidak ada lagi waktu istirahat setelah hari ini wahai khadijah.
ternyata makna sabda beliau ini sangat dalam ketika kita mengetahuinya. sebab setelah beliau menerima wahyu pertama Dari Allah maka tugas beliau sebagai seorang Rasul yang mulia juga sudah dimulai maka tidak akan ada waktu yang terbuang percuma melainkan hanya untuk mendakwahkan Agama Allah kepada seluruh umat manusia, merombak peradaban kufur dengan peradaban Islam yang agung.
Filosofinya adalah ketika seorang pengemban dakwah telah sadar bahwa dirinya telah dipilih oleh Allah untuk menjadi bagian dari perjuangan penerapan dinullah di muka bumi maka baginya sudah tidak ada lagi waktu yang terbuang kecuali untuk dakwah saja. Hal ini dikarenakan dia telah ditunjuk oleh Allah untuk mengemban tugas mulia menjadi pewaris para nabi.Menunjuki manusia dari jalan yang kekufuran kepada jalan petunjuk yang terang benderang. Dan sudah merupakan kebanggaan sebagai aktifis dakwah hendaknya bangga menunjukkan dirinya sebagai orang yang memperjuangkan Islam.tidak takut akan celaan orang-orang yang mencela,juga tidak gentar akan kezholiman orang-orang yang zholim.Baginya hanya allah dan Rasulnya di atas segalanya.J ust Allah ...........only Allah

Jangan atasi masalah dengan masalah baru

Apa itu hidup bila tidak ada masalah-masalah yang selalu ada,demikian sebait syair lagu yang di nyanyikan oleh ahmad dhani.memang betul selama kita masih hidup di dunia ini yang namanya masalah itu akan selalu hadir dan muncul di hadapan kita. tinggal bagaimana kita memandang masalah itu kemudian mencari solusi terbaik untuk masalah kita.Banyak orang yang ketika ditimpa,masalah hemudian mengambil solusi yang malah menimbulkan masalah baru.
contoh kecil lagi, ketika kita punya masalah keuangan lalu kita ngutang sama yang namanya rentenir dengan jaminan surat rumah kita akhirnya ketika jatuh trempo justru kita kehilangan rumah kita karena saldo utang kita yang terus bertambah. Hendaknya ketikakita punya masalah keuangan carilah kerjaan ato aPAUN YANG BISA MENGHASILKAN UANG tentunya yang halal juga ato kalupun harus ngutang berhutang lah pada orang yang benar-benar kita kenal kebaikannya atau memang dekat dengan kita.ok Brooooo.....................
itu baru satu dari sekian banyak masalah iyagaa, belum laGI MASALAH cewe, masalah pendidikan, politik, dan lainnya pokoke carilah solusi dari setiap permasalahan dengan kepala jernih ya ga soB.....

SANG PETUALANG

Hidup itu kalo cuman diem di tempat aja gak nakalan seru, iya ga bro? perlu adanya pengalaman-pengalaman baru biar hidup lho gak hambar. sebagai seorang sales task force gua puunya pengalaman menarik selama menjelajah jalanan. hampir tiap hari gua jelejahi jalan-jalan yang belum pernah sebelumnya gua masukin.Mulai dari daerah rawa sampe dengan daerah pegunungan,dari suku dayak pahuluan sampe suku dayak pahiliran.
Kal paling menarik yang pernah gua jalani adalah waktu gua ekspedisi sama temen-temen sales ke daerah tabuan dan mantuyan kec. Halong kabupaten Balangan. asal lho tahu aja bro kedua desa ini adalah daerah rawan yang telah di blacklist oleh masyarakat setempat karena seringkali terjadi perampokan dan pembunuhan sadis terhadap korbannya.
tapi didorong oleh rasa penasaran yang luar biasa dan jiwA muda yang selalu ingin menjelajahi hal-hal baru akhirnya kita nekat untuk masuk ke daerah itu.
bagaikan dalam sinetron sesampai di daerah itu ternnyata kebetulan pas ada kegiatan pesta adat besar-besaran yang menghadirkan para perampok,penjahat,dan residivis yang tengah asyik menggelar pesta judi di belakang pesta adat tersebut.selanjutnya..............................................................................au ah gelap